KUPU – KUPU SENJA


Cerpen 


Hidup itu seperti roda yang berputar. Kadang diatas, kadang dibawah. Hidup itu penuh cobaan dan tantangan. Tidak tahu kapan dia datang dan pergi. Hidup itu penuh misteri. Tidak bisa diprediksi dan diramalkan. Hidup itu penuh dengan ego manusia. Tetapi, semua harus disyukuri karena hidup hanya sekali.
Pagi itu seperti biasa keluarga Hermawan melakukan aktivitasnya masing-masing. Kedua putrinya tampak bersiap – siap untuk sekolah. Sang istri sibuk menyiapkan sarapan pagi. Sedangkan sopirnya sibuk mengelap mobil untuk mengantar sang anak majikannya ke sekolah. Suasana yang selalu terjadi di pagi hari. Keluarga Hermawan sangat tersohor dan disegani oleh semua orang. Walaupun terlahir di keluarga pengusaha yang sukses dan terpandang, tidak membuat mereka tinggi hati dan angkuh. Melainnkan sebaliknya, mereka tidak pernah memandang rendah seseorang karena pebedaan status social mupun materi. Semua orang kagum dan menghormati mereka. Anak pertama mereka bernama Mia. Mia anak yang cerdas, cantik, dan baik. Semua orang segan kepadanya. Anaknya yang kedua bernama Chika. Masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Chika anak yang periang.
“Mia, Chika, cepat sarapan!” Teriak Sita dari ruang makan memanggil kedua putrinya. “Nanti buburnya dingin lho”. “Mama dan Papa sudah di ruang makan nih” tambahnya.
“Iya, Ma..” jawab kedua putrinya bergantian.
Setelah semuanya klop berkumpul di meja makan, suasana kekeluargaan sangat hangat terasa. Ditambah dengan canda dan gurau di pagi hari yang semakin menambah hangatnya pagi itu.
“Mia, nanti Ujian nya sukses yah.” Hermawan menyemangati putrinya yang duduk di bangku SMA itu.
“Pasti, Pa. Mia pasti melakukan yang terbaik.”
“Anak Papa pasti bisa dong.” Ujar Hermawan sambil mengelus-elus gemas kepala Mia. Mia yang merasa rambutnya menjadi berantakan, langsung memasang muka kecut. Hermawan tertawa geli. Melihat sang kakak, si bungsu Chika yang merasa ingin diperhatikan, segera angkat bicara.
“Chika enggak Pa?” tanyanya dengan muka mewek.
“Chika juga, makanya rajin belajar biar jadi juara kelas seperti kak Mia ya.” Ujar Hermawan.
“Makanya jangan baca komik terus Chik!” Mia menimpali. Semua tertawa melihat ekspresi Chika yang semakin bertambah mewek dan sebal dikatai seperti itu oleh kakaknya. Beginilah suasana pagi dikeluarga Hermawan. Selalu riang dan harmonis.
ŸŸŸ
            SMA Bonavita, tempat Mia bersekolah adalah sekolah yang elit. Rata-rata para siswanya memiliki latar belakang social yang tinggi. Mobil yang mengantar jemput pun kebanyakan keluaran kelas satu! Tetapi, pemandangan seperti itu sudah biasa di mata Mia. Dia tidak ambil pusing dengan keadaannya sekarang. Ia sangat menkmati dan mensyukuri apa yang ia dapat. Cantik, pandai, dikenal semua kalangan siswa dan guru. Ditambah lagi pacarnya, Radit yang merupakan cowok populer dikalangan para siswa. Lengkap sudah semuanya.
            “Mia, nanti sukses ya ujian akutansinya.” Radit menyemangati.
            “Pasti Honey.” Mia tersenyum manyun. Radit yang gemas melihatnya, mencubit pipi Mia yang mulus hingga memerah. “Aduh ! sakit tau..”desis Mia. Keduanya tertawa ringan.
            Dari kejauhan terdengar suara teman-teman Mia yang berjalan hendak menghampiri mereka berdua. Desti, Nana, Chyntia dan Seila yang selalu ada disamping Mia. Mereka berlima selalu kemana-kemana bersama. Dari jalan-jalan, shopping, menonton, dan sebagainya. Rasanya tidak ada yang kurang untuk Mia
ŸŸŸ
            Disaat yang bersamaan, di kediaman keluarga Hermawan yang damai itu serasa diterpa badai hebat. Sebuah berita buruk melayang kearah mereka. Saat itu telephone berdering di ruang tamu . Dengan sigap , Sita mengangkat telephone itu. Ekspresi wajahnya tiba-tiba pucat pasi. Bola matanya kosong. Tatapannya melayang entah kemana. Ditutupnya gagang telephone dengan tangan gemetar . Badannya seketika lemas tak berdaya. Suaminya, Hermawan, mendekam di tahanan.
ŸŸŸ
            Di kantor Polisi, Sita tampak tak percaya suami tercintanya mendekam di tahanan. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan mata yang berkaca-kaca. Sita tampak tak kuasa melihatnya. Ia hanya menangis tersedu-sedu ditemani si bungsu Chika. Mia yang melihat keadaan ayah tercintanya dibalik jeruji itu tampak tersulut rasa curiga dan keganjilan dari hal ini. Hermawan diberi kesempatan berbicara sebentar kepada keluarganya. Ia menjelaskannya kepada Mia. Berharap Mia mengerti atas kejadian yang menimpanya.
            “Mia anakku..”tatap Hermawan sendu. “Papa dijebak oleh seseorang yang menginginkan Papa lengser dari jabatan Papa. Papa difitnah Mia….Papa dituduh menggelapkan uang perusahaan.”
            Mia hanya diam seribu bahasa dan menitikkan air mata. Ia mendengarkan penjelasan ayahnya panjang lebar dan menyimaknya dengan seksama. Mia tidak menyangka badai yang begitu dahsyat ini menghantam bathin nya yang semakin terkoyak. Ia tak tahu harus berbuat apa.
ŸŸŸ
            Sepulangnya dari kantor polisi, Mia pulang tanpa kehadiran sang ayah. Hanya kesedihan yang ia bawa. Sita tak henti-hentinya meratapi nasib suami dan keluarganya. Chika ikut tersedu-sedu melihat ibunya begitu sedih. Kesedihannya tak sampai disana ketika melihat seisi rumah yang barang-barangnya mulai dipindahkan ke mobil pick up. Salah satu petugas itu menjelaskan mengapa barang – barang dirumah ini dikemas.
            “Maaf  Bu, rumah Ibu terpaksa kami gadaikan karena kasus yang membelit suami Ibu.” Jelas petugas itu singkat dan padat. Seketika itu juga Sita pingsan tak berdaya. Mia dan Chika panik. Sekarang mereka tidak punya tempat tinggal. Tetapi, Mia bertekad mencarikan tempat tinggal yang bisa dijadikan tempat bernaung untuk sementara. Mereka mendapati sebuah kontrakan yang cuup sempit tapi cukup untuk sisa uang yang mereka miliki.
            Keesokan paginya, Chika ngambek tidak mau sekolah. Dia tidak mau pergi kemana-mana dengan kondisi seperti ini. Mia kewalahan membujuk adiknya. Si Ibu hanya meratapi tingkah laku anaknya dengan sendu. Seakan tak tahu harus berbuat apa. Seakan depresi sedang menggerogoti dirinya. Mia harus tegar dan tabah. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sekolah sendiri. Sesamppainya disana, Mia mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Orang – orang menatapnya dengan muka sinis dan penuh curiga. Dia tahu bahwa mereka membicarakan masalah yang menimpanya saat ini. Berita dari mulut ke mulut telah beredar luas kemana-mana. Terbesit dipikirannya untuk menemui Radit, kekasihnya. Berharap Radit memberinya dukungan dan semangat dari masalah yang sedang dideranya. Dicarinya Radit ke kelasnya.
            “Dit, aku..” belum sempat ia berbicara, Radit memotongnya dengan gusar.
            “Pergi kamu ! Dasar anak koruptor! Tidak tahu malu !!” Radit geram. “Kita putus!!”
            Seperti ditimpa beban 1000 ton. Dadanya sesak sekali. Mia tidak percaya bahwa Radit sekejam itu. Bahkan tidak memberikan kesemptan bagi dirinya untuk berbicara. Batinya terkoyak. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sakit. Itulah yang ia rasakan. Mia berpaling kearah pintu keluar diiringi seruan-seruan dan caci maki atas dirinya.
            Mia tidak hilang akal, ia berinisiatif menemui sahabat-sahabatnya. Sahabat pasti jauh lebih mengerti daripada seorang kekasih. Niatnya mencari mereka, ternyata mereka sudah terlebih dlu menampakkan diri didepan Mia. Mata Mia berbinar melihat sahabat-sahabatnya datang seperti hujan di kemarau panjang.
            “Oh..jadi ini ya anak koruptor?” Chyntia membuka pembicaraan.
            “Bikin malu aja !” timpal Nana.
            “Guys, kita gausah temenan sama anak koruptor dan sekarang jatuh miskin ini. Dia udah melarat dan tidak punya apa-apa untuk dibanggakan.” Seila menghantamkan kata-kata yang menyayat hati Mia lebih dalam.
            “Kalian….” Mia berkaca-kaca. Seketika saat itu juga teman-temannya pergi menjauhinya. Desti hanya menatap sahabatnya dengan iba tanpa berkata sepatah kata. Ia tahu Mia tidak seburuk itu. Desti menaruh simpati pada Mia.
            Tidak hanya pengkhianatan dari kekasih dan sahabatnya. Hari ini juga Mia mendapat surat drop out dari sekolahnya. Alasannya, takut SMA Bonavita yang elit dan terpandang itu tercoreng namanya karena menganggap masalah Mia ini aib yang bahaya bagi reputasi sekolah . lengkap sudah rasanya. Mia harus lebih lapang dada menghadapi kenyataan .Tidak hanya dikeluarkan, sekarang kondisi ibunya semakin memburuk. Badannya semakin kurus dan kantung matanya berwarna hitam. Mukanya pucat. Pikirannya entah kemana. Hanya bisa berbaring lemah diranjang seadanya. Chika merawat ibunya dengan penuh kasih sayang.
            Masalah terbesar saat ini adalah uang. Sebagai anak tertua, ia harus bisa menghidupi ibu dan adiknya agar bisa makan setiap hari. Akhirnya Mia memutuskan bekerja serabutan.. Mulai dari mencuci baju tetangga-teangga, mengantarkan pesanan, hingga menjadi kuli di pasar. Begitu besar kegigihan dan kerja kerasnya. Hingga pulang larut sekalipun tak ia hiraukan demi sepeser uang. Chika pasti selalu menunggu kakaknya pulang dari kerja didepan kontrakkan.
            “Horee..Kak Mia pulang!” teriak Chika riang.
            “Ssst..jangan keras-keras. Nanti Mama terbangun. Mama sudah makan?”
            “Sudah.” Jawab Chika mantap. Keseharian ini terus berulang sampai pada akhirnya Mia berani memutuskan untuk melamar pekerjaan di sebuah perusahaan kecil jasa pengiriman barang. Hanya berbekal ilmu yang ia dapat semasa waktu sekolah dan kecerdasannya tanpa ragu ia mencoba peluang . Bahkan ia mau ditaruh dibagian paling bawah sekalipun. Mia bekerja dengan gigih dan ulet. Banyak yang senang dengan hasil kerjanya. Karena berhasil merebut perhatian direktur perusahaan itu, Mia sedikit demi sedikit meranjak dai posisinya yang paling bawah hinga naik setingkat demi setingkat. Hebat memang. Ia bersyukur masih diberi kecerdasan yang bisa dijadikan penyambung hidup keluarganya.
ŸŸŸ
            Suatu malam, Sita terjaga dari tidurnya. Ia berniat meraih segelas air putih disebelah ranjangnya. Ia tidak haus. Hanya ingin menenangkan diri dari mimpi buruk yang tengah ia alami dalam tidurnya. Tangannya yang renta berusaha meraih tepian meja dan gelas yang cukup jauh untuk dijangkau bagi dirinya. Akibtnya, ia terjatuh dari ranjang dan kepalanya terbentur lantai hingga tak sadarkan diri. Mendengar suara dentuman yang keras, Mia dan Chika ikut terjaga. Mereka menyadari arah suara dan mendapati ibunya tersungkur ke tanah. Secepat kilat ibunya dibawa ke rumah sakit terdekat.
            Mia mondar mandir tidak karuan karena gelisah. Sedangkan Chika tertidur di kursi ruang tunggu. Betapa terkejutnya Mia ketika dokter keluar dengan raut muka yang tidak ingin ia harapkan.
            “Saudara Mia…Berlapang dadalah.Beliau telah beristirahat dengan tenang..”
            Sekali lagi, dentuman itu bagai 1000 pisau yang menancap di bathinnya. Ia harus merelakan Ibunda tercinta menghadap Sang Kuasa. Tak terasa air mata mengucur deras di pipi mulusnya. Ketegarannya sedang diuji.
ŸŸŸ
            Kerumunan orang berbaju hitam yang melayat mulai berkurang satu persatu. Suasana di pemakaman itu mendadak sunyi senyap. Mia dengan tegar menghadapi kenyataan berbeda dengan Chika yang terus menggeluti nisan almarhum ibunya. Dari kejauhan terdengar suara nan lembut memanggil namanya. Suara yang sudah lama ia rindukan . yang sempat menghilang bertahun-tahun.
            “Mia..Chika..” kata seorang lelaki paruh baya bertubuh kurus dan rambut ubanan. Renta sekali. Keduanya menoleh secara bersamaan . Lelaki itu..
            “Papa !!” teriak Chika histeris tak percaya. Pecahlah isak tangis Chika yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Dipeluknya ayahnya satu-satunya. Penampilannya terlihat kusut. Sorot matanya menyiratkan penyesalan yang amat mendalam dan tak bisa terobati. Mia dan Chika berpelukan dalam dekapan ayahnya.
            Kini, mereka harus bertahan dei kelangsungan hidupnya. Mia bekerja keras dan focus pada perusahaan tempatnya bekerja. Hermawan mendapat titik terang dari kasus yang sempat menjatuhkannya dalam lumpur kesengsaraan. Ia sedikit demi sedikit mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang terdekatnya. Dan Chika, bisa mengenyam pendidikan lagi ke tinkat yang leih tinggi.

Comments