Oleh : Ayu Imelda
Sasiandari
CERPEN
Siang hari ini begitu panas. Terik
matahari serasa tak habis-habisnya menusuk tubuhnya. Apalagi ditambah sehabis
latihan lari maraton seperti ini. Sebentar lagi memang akan ada turnamen nasional
marathon tingkat SMA. Agni lelah sekali. Gadis berambut sebahu itu mengelap
keringat yang menetes diwajahnya dengan tangannya yang mungil. Keringat
bercucuran dan membasahi pakaian yang ia kenakan. Dia memang gadis SMA biasa
tapi cukup manis karena lesung pipit yang dimilikinya. Tak lama kemudian, suara
peluit pelatih memecahkan suasana di kala itu. Ini pertanda waktu untuk beristirahat.
“
Prriiiittt….! Istirahat 10 menit ” kata pelatih.
“
Setelah itu kembali latihan” ia melanjutkan.
Merasa
ini adalah kesempatan emas, Agni tidak menyianyiakannya. Dia bergegas ke tempat
tasnya berada. Dia merogoh tasnya dan mengambil uang sebesar lima ribu rupiah.
“
Lumayan buat beli Pocari” katanya mantap.
Sambil
membereskan sedikit isi tas sebelum meninggalkannya ke kantin, dari kejauhan
terdengar suara yang tak asing memanggil namanya.
“
Agni ..!” teriaknya.
Agni
menoleh ke belakang. Gadis berwajah oriental itu berlari mendekat ke arahnya.
Dia Jessi, sahabat Agni.
“
Kenapa Jess? Kayak ngejar maling aja.”
“
Enak aja elo. Elo tuh malingnya. Haha..”
“
Iya yah? Bego gue. Terus, lo manggil gue kenapa?”
“
Elu mau ke kantin kan? Gue nitip Pocari yah?”
“
Iya deh, buruan ..”
Sambil
memberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah, Jessi langsung bergegas pergi
meninggalkanya. Tampaknya dia memang terburu-buru. Tanpa berpikir panjang, Agni
segera pergi ke kantin karena rasa hausnya tidak bisa ditahan lagi.
Sesampainya
di kantin, Agni segera membeli minuman yang ingin dibelinya. Suasana kantin
waktu itu memang sedikit sepi. Maklum saja, kala itu adalah jam pulang sekolah.
Hanya tersisa anak-anak club atletik sedang mengadakan latihan untuk mempersiapkan
diri mengikuti turnamen yang akan digelar sebentar lagi.
Dengan
sedikit tidak sabaran, Agni meraih gagang pintu freezer di depannya. Tinggal sedetik lagi, ia dapat melepaskan
dahaganya. Disaat yang bersamaan, seorang laki-laki juga tidak sengaja ingin
membuka pintu freezer yang sama
dengan Agni. Mereka refleks. Tangannya sama-sama menjauhi gagang freezer.
“Uupps..
Silahkan duluan,” kata laki-laki itu lembut.
Agni
hanya mengangguk dan sedikit tersenyum. Saat itu dia menyadari, bahwa laki-laki
yang ditemuinya ternyata satu club dengannya. Pakaian yang mereka kenakan
serupa. Sembari mengambil Pocari yang masih tersisa satu di depannya, Agni
sedikit mengalihkan pandangannya kepada laki-laki itu. Tapi hanya sebentar.
Tanpa banyak pikir, Agni langsung membayar minuman kaleng favoritnya yang hanya
tersisa satu itu. Dilihatnya arah freezer.
Laki-laki itu masih disana. Tampaknya sedang mencari-cari minuman yang diinginkannya
tetapi tak kunjung ia temukan.
“No god, Pocarinya habis,” ujar laki-laki
itu tampak kecewa.
Dengan
air muka bête, mau tidak mau dia harus membeli di tempat lain. Minuman itu
memang satu-satunya obat yang mampu menyembuhkan dahaganya sehabis latihan
dibawah teriknya sinar matahari. Teman yang sangat pas.
“Gue
harus beli di supermarket terdekat nih.” ujarnya lagi.
Agni
yang dari tadi memperhatikan, merasa sedikit bersalah karena minuman itu dia
yang mendapatkannya atas tawaran baik laki-laki itu. Agni mulai mendekatinya.
“Nih..buat
elo.” Sambil menyodorkan minuman kewajah
laki –laki itu dan menunduk.
Sedikit
kaget, laki-laki itu berkata ,”Ah, enggak, enggak usah. Buat elo aja. Itu kan
punya elo. Gue bisa beli ditempat lain kok”
ujarnya menolak.
“Enggak,
ini buat elo aja,”Anggi bersikeras.
“Enggak.
elo aja yang minum.”
“Enggak
! loe aja.”
Hening.
Akhirnya,
tidak ada satu pun yang mengulurkan tangan untuk minuman itu. Mereka berdua
mendadak membatu. Hanya duduk dan diam. Hambar. Seperti tidak tahu harus
melakukan apa. Akhirnya, Agni memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
“Gue
Agni,” katanya singkat, padat, dan jelas tanpa berani menoleh kearah laki-laki
itu.
Laki-laki itu
melirik kearah Agni, “Gue Jonathan. Tapi temen-temen biasa manggil gue Joe.”
“Gue
gak pernah liat elo disini Joe.”
“Iya,
gue pindahan.Kelas 1 ini gue udah pindah lima kali.Gue baru 4 hari sekolah
disini.”
“Oh..
tapi kenapa elo pindah sebanyak itu? ”
“Iya,
ortu gue suka pindah-pindah tugas.”
Tak
selang beberapa lama mereka berbicara, seruan peluit pelatih nampak mengusik
suasana yang mereka ciptakan. Latihan dimulai sekali lagi.
“Ppriitt
! Latihan dimulai lagi..!” seru pelatih tersebut.
“Semua
harap kumpul !” tambahnya.
Bergegas
Agni dan Joe pergi meninggalkan tempat itu menuju lapangan. Keduanya salah
tingkah. Seruan peluit pelatih kala itu mengakhiri percakapan mereka. Yang
tersisa hanya minuman kaleng pelepas dahaga yang menjadi saksi bisu awal
pertemuan mereka.
Nasib
memang tidak bisa diramalkan. Setahun kemudian, Agni dan Joe berpacaran. Saat
itu mereka duduk di bangku kelas 2 SMA. Masa-masa indah berpacaran bagaikan
bunga di musim semi yang bermekaran. Dua insan yang saling jatuh cinta. Tetapi
tidak ada yang bisa mendefinisakan apa yang akan terjadi di masa yang akan
datang. Semua dilakukan bak air mengalir. Begitu pun dengan Agni. Sudah 2 bulan
ia dan Joe berpacaran. Sampai saat ini tidak ada hal yang membuat mereka
terganggu. Semua berlalu biasa saja.
Tapi,
tahun baru kali ini pasangan mana yang akan menyanyiakan kesempatan sekali
dalam setahun untuk keluar bersama? Agni senang sekali. Joe mengajaknya
menonton kembang api. Dilihat dari fisik, Joe termasuk laki-laki yang perfect. Postur tubuhnya tinggi dan
atletis. Tidak kurus, tidak gemuk. Kulitnya sawo matang dan bersih. Hidungnya
mancung. Ditambah lagi dengan kacamata minus yang membuat penampilannya begitu
disegani.
“Trriilliiliiliit…ttrriiliiitt..”
handphone Agni bordering. Agni bergegas mengambil handphonenya yang tergeletak
di atas meja belajarnya. Siang itu Agni memang sedang tidak pergi kemana-mana
karena Joe akan mengajaknya menonton kembang api nanti malam.
Sambil
berbaring ditempat tidur, Agni menjawab telepon yang masuk. Wajahnya tampak
berseri-seri karena yang menelpon adalah orang yang ia tunggu-tunggu.
” Joe ?”
jawabnya berbinar-binar.
“ Iya, ini gue.
Gini, kita ralat dikit yah, gimana kalau kita berangkatnya nanti sore jam 5?
Pesta kembang apinya mulai dari jam 7 sampe jam 9 aja. Biar sampe disana elo
bisa nonton 2 jam. Gimana?”
“Boleh aja kok. Enggak masalah bagi gue.”
“ Oke, ntar gue
tunggu di stasiun yah. See you, Honey.”
“See you, too.”
Tut.
Pembicaraan
mereka cukup sampai disitu. Agni senyum-senyum. Wajahnya merah merona. Ini first date mereka. Dia tidak sabar
menati saat itu tiba. Sambil memegang wajahnya yang memerah, ia sembari
mencubit pipinya.
“Apa ini mimpi?
Gue ga mimpi kan?” batinnya.
Agni
berguling-guling di atas tempat tidurnya. Rasa senangnya seakan tidak bisa
dibendung lagi.
Stasiun tempat
mereka berdua janjian lumayan ramai. Mungkin sebagian orang-orang disana juga
ingin menonton pesta kembang api. Sesampainya disana, Agni tampak memperhatikan
orang-orang disekelilingnya seperti mencari-cari sesuatu. Ia mencari Joe. Tak lama
kemudian, ia menemukan orang yang ia cari tengah menunggu di pojok. Di
tengah-tengah kerumunan orang yang lalu lalang. Agni sedikit berlari kearah
Joe. Joe yang menyadari kedatangan Agni, tersenyum dengan lembut.
“Sorry, Joe, gue telat.”
“ Telat? Ini
baru jam 4 lewat 54 menit. Elo enggak telat Ni.”
“ Jadi? Elo udah
nunggu dari tadi?” Agni sedikit kaget.
“Enggak, gue
juga baru dateng kok. Yuk, capcus.”
“Ok.”
Joe segera
menarik tangan Agni untuk segera masuk ke dalam kereta. Mereka berpegangan
tangan. Sungguh hal yang membahagiakan bagi mereka berdua.
Waktu
menunjukkan pukul 6 lewat 57 menit. Agni dan Joe datang tepat waktu. Tinggal 3 menit
lagi mereka bisa menikmati pesta kembang api di tahun baru ini. Apalagi
melihatnya dari awal. Agni merasa beruntung. Dan benar saja, keduanya sangat
menikmati pesta kembang apinya. Ramai sekali disana. Mulai dari anak-anak, anak
muda, dewasa, hingga tua ,semua berkumpul jadi satu. Satu per satu kembang api
dinyalakan. Sorak sorai penonton membuat suasana makin semarak.
Ditengah
ramainya suasana malam itu, Joe mencurahkan sedikit isi hatinya pada Agni.
“
Agni, elo tahu enggak ambisi terbesar di hidup gue?” ujar Joe.
Agni
menoleh kearah Joe. Ia menggeleng. “Gue enggak tahu Joe”
“ Ambisi gue adalah menjadi atlet
professional. Gue bakal lari seharian dilapangan yang khusus dibuatin buat gue
sendiri. Gue bakalan teriak : Hidup Joee!” ungkap Joe semangat.
Agni tersenyum. “ Kalau gue, gue
cuma pengen menyalurkan bakat dan hobi gue. Biar ortu juga bisa bangga sama
gue. Enggak lebih.” jawab Agni polos.
Tiba-tiba, air muka Joe mendadak
serius. “ Tapi kali ini, bukan ambisi gue yang paling penting. Tapi elo, Ni..”
Agni
terdiam sejenak. Mukanya memerah. Joe membuat jantungnya berdebar-debar. Kali
ini, Agni benar – benar salah tingkah dibuatnya.
“ Ah, elo ng.. ngomong apa sih Joe?
Emm, gu.. gue mau beli minum dulu.” Agni terbata-bata. Nervous.
“ Gue aja yang
beli ?” Joe ingin menghalangnya.
“Eng,enggak usah. Gue bisa beli
sendiri. Sambil nyari angin.” Agni sedikit berbohong.
“Ok. Tapi jangan lama-lama, Ni.”
Agni
mengangguk dan beranjak meninggalkan Joe membeli minuman. Mukanya memerah. Joe
yang memperhatikan Agni yang salah tingkah hanya tertawa kecil.
Selang
beberapa lama setelah meninggalkan Joe, Agni yang sudah memegang minuman
dikedua tangannya, bergegas ke tempat semula dia dan Joe berada. Agni
menyadari, ini sudah mendekati jam 9. Dengan langkah pelan namun pasti, Agni
menuju ketempat dia beranjak sebelumnya. Bak tidak ada hujan, tetapi ada petir,
Agni tiba-tiba terjatuh. Kedua minumannya tumpah. Ini menyebabkan pergelangan
kaki kanannya terasa sakit luar biasa.
“Sakit…”
erangnya setengah menangis.
“Gue
enggak bisa jalan.”
Dan
benar saja, pesta kembang apinya sudah selesai. Tepuk tangan dan sorak sorai
penonton sedikit demi sedikit tidak kedengaran lagi. Agni panik. Dia tidak bisa
berjalan. Agni hanya berharap Joe datang dan segera menolongnya. Di lain pihak,
Joe yang merasa kepergian Agni yang terlalu lama, membuatnya berinisiatif untuk
mencari Agni. Tak lama kemudian, Joe menemukan Agni. Melihat kondisi Agni yang
menangis sambil memegang pergelangan kakinya, tanpa banyak berpikir, Joe langsung
menggendong Agni. Dia tahu, dia harus mencari kliniak terdekat. Tuhan member
mereka jalan. Di depan mereka terpampang sebuah klinik 24 jam. Tanpa ragu-ragu
mereka langsung masuk untuk check-up. Masalah
pertama selesai. Masalah kedua adalah mereka tidak bisa pulang. Kereta terakhir
sudah berangkat. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari sebuah penginanpan
murah disekitaran sana.
“Kaki elo masih sakit?” tanya Joe.
“Lumayan.
Dokter bilang sembuhnya bakal lama. Mungkin harus rehabilitasi rutin.”
“Apa
elo masih bisa lari?”
Agni
diam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Joe. Joe yang merasa pertanyaannya
sedikit menyakitkan bagi Agni, mencoba mencari topik pembicaraan lain.
“Ni,
kita cari penginapan yuk? Mustahil bisa pulang dengan kondisi kayak gini.”
Agni
hanya mengangguk.
“Tenang
aja, gue enggak bakalan nyentuh elo. Percaya sama gue” Joe meyakinkan.
Keesokan
harinya, mereka berdua pulang. mereka menjelaskan panjang lebar apa yang
sebenarnya mereka alami. Orangtua Agni yang tidak dikabari sebelumnya, sekarang
merasa sedikit lega. Sama halnya dengan Joe. Beruntung hal ini tidak
menyebabkan kesalahpahaman. Tetapi, Agni merasa sedikit janggal dengan kondisi
tubuhnya. Ada apa sebenarnya? Ini membuatnya selalu bertanya-tanya. Kenapa dia
bisa tiba-tiba terjatuh waktu itu?
Agni
dan keluarganya sempat check-up. Dokter mengatakan , bahwa perlu waktu yang
lama bagi Agni untuk bisa kembali berjalan dengan normal. Ini membuatnya
sedikit terguncang. Berjalan saja memerlukan waktu yang lama. Bagaimana dengan berlari?
Apa dia harus menyerah begitu saja? Tidak. Agni harus sembuh. Dan dia akan
berusaha untuk itu.
Dibalik
kecemasannya, selalu ada orang yang menyemangatinya. Keluarga, sahabat dan
kehadiran Joe. Orang yang disayanginya. Setiap pulang sekolah, Joe selalu
menyempatkan diri menengok Agni dirumahnya. Berbincang dengan keluarganya dan
menanyakan kondisi kaki Agni. Dia memang care.
Agni merasa tenang.
Selang
waktu berjalan, Agni bisa merasakan sedikit kemajuan pada pergelangan kaki
kanannya. Dia bisa berjalan dengan normal. Ditambah lagi, dia bisa berlari. Sungguh
kemajuan yang sangat pesat. Dokter memfonis bahwa Agni sudah sembuh. Senang
sekali rasanya. Agni kembali beraktivitas.
“Udah
sembuh Ni?” tanya Jessi.
“Udah
donk” jawab Agni mantap sambil mengikat tali sepatunya.
“Elo
yakin mau latihan?”
“Iya.”
Tanpa
berpikir panjang, Agni terjun ke lapangan untuk berlari. Bebas sekali rasanya.
Tiba-tiba, baru 9 langkah ia berlari, Agni terjatuh. Rasanya seperti kehilangan
keseimbangan begitu saja. Dia tidak percaya. Hal ini sama dengan yang
dirasakannya setahun lalu di pesta kembang api. Agni tidak mau berpikir
negative. Dia segera bangkit dan mencoba berlari sekali lagi. Kali ini hanya 5
langkah, ia terjatuh kembali. Hidungnya berdarah. Agni kembali mencoba
mengulanginya. Tapi kini hanya 2 langkah saja, ia terjatuh lagi. Agni menangis.
Dia seolah tak percaya tubuhnya menolak perintahnya. Jessi yang melihat kondisi
Agni, segera memanggil teman-teman yang lain untuk menolongnya. Joe yang menyadarinya, segera
berlari dan menyergap Agni yang menutupi wajahnya yang menangis. Bukan karena
hidungnya yang berdarah. Tapi ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya.
Seiring
watu berjalan, kondisi tubuh Agni dirasa mulai aneh. Agni harus berjalan
pelan-pelan agar tidak terjatuh. Dia harus berpegangan. Agni juga susah
memegang sesuatu. Pensil saja sering dia jatuhkan. Agni yang sering ijin dari
sekolah, membuat Joe sedikit khawatir. Ada apa dengan Agni? Sejak kejadian
dilapangan itu, dia sering tidak masuk. Joe berinisiatif akan menjenguk Agni
lagi sehabis pulang sekolah.
Setibanya
dirumah Agni, Joe bersiap-siap untuk menekan bel rumah. Sedetik sebelum dia
menekan bel, tidak sengaja Joe mendengar pembicaraan seorang laki-laki dengan orangtua
Agni.
“Menurut
pemeriksaan kemarin, anak ibu terserang penyakit spinocerebellar ataxia. Penyakit ini adalah penyakit langka yang
menyerang sistem keseimbangan tubuh di otak kecil. Pederitanya akan mulai susah
untuk berjalan, memegang sesuatu, menelan, berbicara, bahkan…” belum selesai
laki-laki itu bicara, orangtua Agni tiba-tiba memotong.
“Bahkan apa Dok??”mama
Agni cemas.
“Bahkan…penyakit
ini bisa menyebabkan kematian. Penyakit ini sulit untuk disembuhkan. Belum
ditemukan obatnya. Maaf, saya tidak bermaksud untuk menakut-nakuti anda
berdua.”
Orangtua Agni
syok. Air mata mereka mulai berjatuhan. Joe yang mendengar percakapan mereka,
terkejut hingga terbujur kaku. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak percaya.
Berharap yang didengarnya hanyalah sebuah ilusi sesaat. Dibalik isakan tangis
orangtuanya, Agni tengah berdiri dibalik dinding sejak tadi. Agni menunduk.
Tatapan matanya kosong. Air matanya berjatuhan ke lantai. Apa yang harus
dilakukan saat itu? Hanya bisa berharap dan menerima kenyataan.
Hari demi hari,
minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu. Waktu sudah menunjukan tahun
ketiga. Masa-masa terakhir di kelas 3 SMA, harusnya dia lalui dengan ceria.
Tetapi kondisi Agni tak kunjung membaik. Agni hanya bisa terbaring lemah di
rumah sakit. Agni tidak bisa berjalan, memegang sesuatu, dan menelan makanan
atau minuman. Ini menyebabkan dia sering tersedak jika tidak hati-hati.
Tubuhnya kurus. Pucat. Keluarganya hanya bisa berharap agar keajaiban datang
kepada Agni.
Seminggu sekali,
sahabat-sahabat Agni datang menjenguk dan memberi semangat. Agni merasa senang
karena diberi kekuatan untuk melawan penyakitnya ini. Tapi apa daya, dia tidak
bisa bicara. Semoga rasa terimakasihnya bisa didengar oleh semua orang yang
memeberinya semangat. Ditambah lagi dengan kehadiran Joe yang selalu menjenguknya
setelah pulang sekolah. Tidak kenal waktu, Joe selalu ada disamping Agni. Joe
selalu menemani Agni sampai ia tertidur. Dan saat itu pula dia harus pamitan
pulang. Hal ini terus berlangsung. Joe selalu menemani Agni. Sampai menyuapi
Agni pun ia lakukan. Dia sangat menyayangi Agni. Orang tua Agni yang melihatnya
merasa sangat terharu.
Memasuki
bulan April, siswa kelas 3 sangat sibuk dengan persiapan Ujian. Test dan try
out terus menghujam mereka. Tapi, hal ini tidak dijadikan alasan bagi Joe untuk
menengok Agni. Dia selalu menyempatkan diri ke rumah sakit. Hal yang sama terus
berlangsung. Sampai akhirnya, Ujian Nasional tiba. Sehari sebelum Ujian,Joe
sengaja bermalam dirumah sakit sambil belajar. Dia tidak ingin pisah dengan
Agni. Agni ingin sekali mengatakan sesuatu saat itu. Tapi bibirnya susah untuk
digerakkan. Pagi ini, adalah Ujian Nasional. Joe menyempatkan diri lagi ke
rumah sakit. Dia meminta dukungan Agni.
“Agni,
sekarang gue Ujian. Doain yah, semoga gue bisa jawab dengan baik.”
Agni
hanya diam. tapi dari wajahnya , dia seperti mengucapkan “elo pasti bisa Joe”.
“Ni, elo udah makan belum? Gue
bawain bubur. Kata temen-temen, bubur ini enak. Ntar elo harus makan. Tapi,
kalau elo mau makan sesuatu, bilang aja ke gue yah.”
Joe
menatap Agni. Kemudian mencium keningnya.
“Gue
berangkat Ni..”
Sepeninggal Joe,
Agni menutup matanya. Detak jantungnya masih normal. Ia tertidur. Cantik
sekali.
Pulang sekolah
nanti, Joe akan menjenguk Agni. Ini seperti sudah menjadi kebiasaannya. Tidak
peduli panas, hujan, dan ujian. Dia tetap pergi. Tidak ada yang bisa
menghalanginya.
“Joe !” panggil
seorang perempuan.
“Kenapa, Jess?”
“Gue titip salam
buat Agni. Semoga dia cepet sembuh. Elo yang tabah yah?”
Joe mengannguk.
Sesampainya
dirumah sakit, Joe sedikit terkejut. Ruangan yang Agni tempati kosong. Kemana
mereka semua? Apa Agni udah dibawa pulang? Kenapa keluarganya enggak beri tahu
gue? Apa ini surprised buat gue kalau
Agni udah sembuh? Joe bertanya-tanya sendiri. Dalam hatinya senang sekali.
Tiba-tiba seorang suster masuk ke ruangan itu. Ia hendak mengemasi barang
pasien yang tertinggal. Joe tidak melewatkan kesempatan tu. Ia segera bertanya.
“Mbak, pasien di
kamar ini udah pulang yah?”
“Adik-
keluarganya?”
Joe mengangguk
mantap, “Iya mbak.”
“Keluarganya
baru saja membawanya ke rumah duka untuk disemayamkan.”
Joe syok. Detak
jantungnya seperti terhenti sejenak. Ia membatu tanpa ekspresi. Apa ini mimpi?
Rasanya seperti dijatuhkan beban satu
ton. Joe terjungkur ke bawah. Tatapan matanya kosong. Mukanya pucat. Ia tidak
percaya, kepergian Agni secepat ini. Air matanya menetes.
“Rest in peace my love… we’ll always praying for you”
-Tamat-
Comments
Post a Comment