Cerpen Sepeda, Jembatan antara kita


Oleh : Purwa Darmaja


             Namaku Hendra, aku banyak memiliki hobi, tapi hobi paling ku suka adalah bersepeda. Sore ini aku pergi bersepeda ke pantai bersama temanku yang bernama Sinta, dia adalah sabahatku yang paling baik. Aku memiliki rasa lebih ke dia. Saat sore ini aku ingin menembak dia dan aku memberinya sebuah hadiah gantungan kunci berbentuk sepeda.” Aku harus berani” dalam benakku.
Menjelang senja, aku mencari sinta ke rumahnya.
            “Sinta Sinta Sinta”
            “Iyaa… Hendra, tunggu sebentar”
            “Oke….”
Berapa menit kemudian….
            “Maaf… sudah membuatmu menunggu lama”
            “Ya gak apa apa….  Jadi ke pantai sekarang ini?”
            “Jadilah!!”
            “Sepedamu bagus juga Sinta, hehehe”
            “Sepedamu juga bagus, Yuk….  Kita berangkat”
            “Yuk…. “
Kami bersepeda di jalan yang bertanah basah. Kanan kiri banyak pohon yang mengiasi jalan yang kami lewati. Angin yang sepoi – sepoi menggerakkan pohon, menjadinya begitu indah. Kami berhenti untuk beristirahat.
            “Sinta apa kau haus?”
            “Aku haus ini Hendra”
            “Ini aku kasih air mineral”
            “Terima kasih.. Hendra ”
Kami berjalan sambil membawa sepeda dengan wajah yang riang.
“Oya, Sinta sepedamu sangat bagus.”
“Oh, sepeda ini adalah pemberian kakek. Aku sangat suka dengan sepeda ini. Kamu juga bagus sepedanya.”
“Sepedaku ini aku rawat dengan baik, makanya  menjadi seperti ini.”
“Pasti kamu sangat menghargai dan menghormati pemberian kakekmu?”
“Pasti, karena kakekku sangat menyayangi aku.”
“Yuk…. Kita naiki sepeda kita, biar cepat sampai ke pantai.”
“Yuk….  Agar kita dapat melihat matahari terbenam.”
Setelah berapa lama berjalan, kami menaiki sepeda, agar lebih cepat sampai di tempat tujuan. Sudah bersepada, sampailah kami di pantai. Kami membawa sepeda berjalan sekitar pantai. Kami melihat ke arah pantai.
“Lihat, senja sudah tiba.”
“Yeah.. Matahari sudah hampir terbenam. Untung cepat tadi, kan nggak lewat jadinya.”
“Untung…”
Lantas kami duduk. Kami duduk di sebuah bukit pasir. Dan sepeda kami bersebelah dengan tempat duduk kami. Bukit pasir  itu menghadirkan pemandangan senjakala yang cemerlang. Kemudian kami memandang ke arah matahari, yang dari detik ke detik semakin mendekati laut.
“Sinta kita kan sudah lama kenalan”
            “emang kenapa?”
            “Gini aku ingin ngomong sesuatu ini”
            “Silahkan saja, aku dengarkan”
            “Oke…… Mmm….. kita sudah lama bersahabat, jadi aku merasa kan sesuatu yang ingin cepat-cepat mengatakan ini. Aku suka sama kamu semenjak rasa ini muncul begitu lama, tpi aku memedam rasa ini. Mau nggak kamu jadi pacarku? sambil aku memberikannya hadiah gantungan kunci berbentuk sepeda.”
            “Aku juga suka sama kamu. Aku menunggu kamu bilang saja. Aku sebenarnya sudah tahu juga.”
            “Apakah kamu menerimanya?”
            “Aku terima… terima kasih juga atas hadiahnya. Ini sangat bagus.”
Pantai begitu kosong, tapi sama sekali tidak sepi. Ketika matahari mulai terbenam serentak langit menyala – nyala dan angin membuat pohon – pohon nyiur berdesah sementara dahan dan daunnya yang kehitaman seperti melambai – lambai menggapai semacam lagu yang bertiup dari arah laut menyusur sepanjang tepi pantai mengendap di antara celah karang yang dihantam gelombang dan buihnya mendesis di pantai begitu pelan begitu pelahan.
            Begitu senja telah berubah menjadi malam, kami bangun dari bukit pasir, lalu menaiki sepeda kami.
            “Hari yang begitu indah Sin.”
            “Menurutku juga begitu.”
Kembali kejalan yang kami lewati tadi, terasa berbeda. Dengan sepada yang tak berisi lampu. Cahaya bulan yang bersinar seperti menuntun kami pulang. Sepeda kami membawa cerita hari ini, cerita aku dan dia bersepeda.

Comments