Om Swastiastu..
AKHIRNYA apa yang disebut-sebut sebagai noda besar dalam ajaran Hindu, yakni penerapan sistem kasta, dijernihkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu. Lewat Pesamuhan Agung (rapat kerja nasional) yang dibuka oleh Menteri Agama Prof. Dr. Said Agil di Mataram, NTB, dua pekan lalu, Sabha Pandita PHDI mengeluarkan bhisama (fatwa) mengenai "pemahaman caturwarna" yang intinya adalah umat Hindu wajib menerapkan ajaran "caturwarna", dan bukan sistem kasta. Sabha Pandita adalah lembaga yang berhak menetapkan fatwa.
Caturwarna adalah ajaran yang menetapkan tentang fungsi seseorang dalam masyarakat Hindu. Golongan brahmana adalah pemimpin ritual keagamaan. Golongan kesatria adalah mereka yang berprofesi di bidang pemerintahan, wesya yang bergerak di bidang ekonomi, dan sudra adalah mereka yang bekerja di bidang pertanian atau perburuhan yang mengandalkan otot. Ini adalah pilihan profesi, bukan karena keturunan.
Di masa-masa akhir Kerajaan Bali, terjadi pemberian gelar kepada golongan-golongan itu. Misalnya, yang bekerja di kerajaan disebut Tjokorde, Gusti Ngurah, dan sebagainya. Yang menjabat raja-raja kecil disebut Anak Agung dan sebagainya, dan yang menjadi pendeta disebut Ida Bagus. Ketika penjajah masuk, gelar itu diwariskan kepada anak-anak mereka, padahal sang anak tidak menjalankan profesi sebagaimana gelar itu. Penjajah Belanda bahkan meresmikan sistem pembagian kelas itu di Bali untuk mengadu domba, dan nama kasta ini menggunakan nama yang ada dalam ajaran caturwarna, yakni brahmana, kesatria, wesya, dan sudra. Penyimpangan menjadi semakin jauh karena gelar itu diwariskan turun-temurun sehingga ada kesimpulan yang salah bahwa yang berhak menjadi pendeta hanyalah keturunan brahmana versi kasta itu. Dan ini merembet ke masalah ritual, perkawinan antar-keturunan, juga sorsinggih (kasar halusnya) berbahasa.
Pemurnian sudah lama dilakukan. Menurut Kepala Museum Gedong Kirtya, I Gusti Bagus Sudiasta, pada 1920 sudah muncul polemik lewat penerbitan Bali Adnyana dan Surya Kanta. Bali Adnyana adalah corong yang pro-kasta, sedangkan Surya Kanta adalah kelompok yang anti-kasta.
Ketut Wiana, Wakil Ketua Sabha Walaka (kelompok pemikir) PHDI, mengatakan bahwa pemurnian ajaran caturwarna sebenarnya sudah tersirat dalam Piagam Campuhan tahun 1959, yang menjadi hari lahirnya PHDI. "Ketika itu sudah dinyatakan bahwa kesetaraan pendeta di Bali bukan berdasarkan keturunan, melainkan keahlian, dan semua penyimpangan yang dikarenakan sistem kasta dihapuskan," kata Wiana.
Ekses kasta sebenarnya sudah mencair seirama dengan meningkatnya pendidikan dan banyaknya buku Hindu yang terbit. Bagi yang tetap mewariskan nama karena keturunan, diakui itu hanya sebatas nama, tidak lagi menentukan dalam ritual keagamaan. Belakangan ini nama-nama tersebut sudah kacau-balau, siapa pun berhak memakai nama yang dulu disebut gelar itu. Pendeta pun sudah banyak yang muncul dari keturunan yang "tidak bergelar". Belum lagi faktor ekonomi dan jabatan di pemerintahan. Yang berada "di puri" belum tentu lebih kaya dari mereka yang "di luar puri", dan ini membuat "yang bergelar" bisa saja kini jadi bawahan dari "yang tak bergelar". Ekses kasta pada umat Hindu di luar Bali bahkan sudah tidak tampak. "Karena itu, sebenarnya saya tidak setuju ada fatwa penghapusan kasta ini. Biarkan hilang dengan sendirinya," kata Putu Setia, yang gencar menerbitkan buku kesalahpahaman kasta sejak tahun 1980-an.
Tapi, kenapa akhirnya muncul fatwa itu? "Masih ada eksesnya di Bali, meskipun kecil. Masih ada anggapan hanya pendeta yang berasal dari keturunan tertentu saja yang punya otoritas tertinggi dalam memimpin upacara," kata Dharma Adhyaksa (pemimpin tertinggi kelompok pendeta) PHDI, Ida Pedanda Sebali Tianyar. Menurut pendeta yang baru diundang ke Amerika Serikat untuk memimpin doa mengenang tragedi WTC ini, fatwa mengenai kasta ini ditambah dengan fatwa tentang sarwa sadhaka, yang mempertegas kesetaraan pendeta Hindu di Indonesia.
Menurut Ketua Umum PHDI, Nyoman Suwandha, fatwa ini adalah mandat dari Mahasabha PHDI tahun lalu. Ketika itu muncul pendapat supaya penyimpangan kasta ini dibuatkan keputusan formalnya. "Bukan untuk umat Hindu saja, tetapi juga untuk umat non-Hindu yang selama ini selalu menuduh umat Hindu menerapkan sistem kasta," kata mantan Wakil Jaksa Agung ini.
Alasan terakhir ini membuat Putu Setia, mantan Ketua Forum Cendekiawan Hindu yang kini memimpin LSM Hindu, berbalik setuju adanya fatwa tentang kasta. Masih banyak beredar buku pelajaran sejarah dan kebudayaan yang menyebutkan Hindu menerapkan kasta. "Beberapa ormas pemuda dan mahasiswa Hindu menginginkan ada fatwa formal soal itu supaya punya keberanian yang lebih besar untuk melakukan protes. Karena itu, saya setuju fatwa ini dan ikut terbang ke Lombok untuk merumuskannya," kata Putu Setia.
Made Mustika (Mataram)
Om Shanti Shanti Shanti Om...
Sumber: TEMPO
Comments
Post a Comment