LIMA BULAN


Hampir lima bulan setelah semuanya berakhir, tapi masih bisa aku dengarkan lagu yang selalu engkau nyanyikan untukku. Dalam earphone yang menghubungkan suaraku dan suaramu disetiap malam, kita bercerita tentang hari itu, kita bermimpi tentang hari esok, dan kita selalu mengingatkan tentang hari kemarin. Selalu ada nyanyian dan canda tawamu dalam setiap malamku. Sepenggal kenangan yang engkau tinggalkan untukku, sungguh membuat aku tersiksa ketika merindukan semua itu. Ketika kita masih menjadi kita meskipun dalam ikatan yang belum jelas kita sebut apa. Apakah hanya seorang teman? Atau kita sudah menjadi sepasang kekasih? Ahh , sungguh sangat kuat kenangan yang telah kau patri dalam tiap detik waktu yg kuhabiskan bersamamu. Bertanya tentang apa yang salah dalam diriku atau apa yang salah dalam diri kita membuatku hanya bisa menitikkan air mata. Aku tak mampu menjawab bagaimana semuanya bisa berawal dan berakhir dengan cepat.
Hampir lima bulan aku tak pernah tahu bagaimana hari-harimu. Aku tak pernah tahu bagaimana kamu mengawali pagimu. Apakah kau sudah ingat untuk sarapan? Sesuatu yang hampir sering engkau lewatkan dan berulang kali aku ingatkan. Masihkah kau lakukan itu? Atau bagaimana kau menahan sakit gigimu karena kau selalu makan coklat yang engkau puja bagaikan seorang dewa. Bisakah aku tahu semua hal itu lagi? Pertemuan kita sangat klise, kau dan aku dalam satu jejaring social, saling berkenalan, bertemu dan sadar bahwa kau ternyata teman dari temanku. Kita kemudian mulai sering bertemu dan saling bertukar pikiran. Klise bukan? Tapi semua itu berawal tanpa perasaan. Iyaa, kamu dan aku mengawali semuanya dengan niat yang sama, Teman. Namun tak ada yang pernah tahu bagaimana perasaan dimulai. Kita merasa nyaman satu sama lain, tapi kita tak pernah menjadi kita yang satu. Kau adalah seorang lelaki dengan sejuta angan tentang Australia. Sebuah negara maju yang sama-sama ingin kita kunjungi. Sungguh sangat ingin aku tahu bagaimana kamu hari ini, esok ataupun kemarin. Bisakah kita ulang lagi bagaimana rasanya menatap kembang api dipantai berpasir putih yang sejuk itu? Atau bisakah kita ulangin menikmati malam berlalu dibawah bintang-bintang? Bisakah kamu kembali? Kini tak ada lagi nyanyianmu disetiap malamku, tak ada lagi ceritamu tentang bagaimana kau ingin sekali pergi ke Negara kangguru itu. Aku ingat betul bagaimana kita pernah bermimpi membuka jendela yang sama dan menatap pagi yang cerah disana bersama. Benar, aku sangat ingat bahwa itu hanya angan yang kita pernah buat. Perjalanan singkat kisah kita membawa sejuta angan dan fantasi buatku. Perjalanan singkat kisah kita membawa aku pada titik rindu yang teramat sangat. Inginku mencarimu kesana dan berkata betapa sangat sulit memendam sebuah bongkahan besar rindu. Setiap memori berbetuk foto yang aku pandangi setiap malam hanya mampu mengingatkan kembali masa-masa itu. Masa ketika aku dan kamu masih menjadi kita. Kita yang tak pernah tahu apa nama hubungan ini. Kita yang tak peduli dengan status dan menjalani semuanya dengan kenyamanan kita masing-masing.


Duabelas Mei menjadi hari yang sangat spesial untukmu, ingatkah kamu tentang hal itu? Pantai berpasir putih yang dibalut angin sejuk bertabur bintang dan kembang api yang sangat indah. Membuat kejutan ulang tahun untukmu menjadi semakin spesial. Kue coklat kesukaanmu dan beberapa lilin yang kita tiup bersama. Aku selalu ingat hal itu, selalu ingat bagaimana senyummu menyempurnakan malam itu, malam dimana kejutan sederhana yang aku buat untukmu berjalan indah. Hampir lima bulan aku masih berharap ini mimpi dan ketika besok membuka mata aku bisa melihat dirimu masih bersama dalam kisahku. Tapi itu hanya fantasi dan anganku, kamu memang benar-benar tak bisa lagi aku sentuh, tak dapat lagi aku gapai, dan tak mampu lagi kukembalikan. Masih kupegang erat janji yang pernah engkau ucapkan, janji untuk selalu bersama. Janji untuk menungguku berpisah darinya. Benar, aku masih milik yang lain ketika aku dan dirimu jatuh cinta. Bolehkah aku bilang kau juga jatuh cinta? Ataukah aku hanya boleh bilang kau hanya menganggapku teman? Tapi apakah teman akan sedekat ini? Apakah kau dan aku akan menghabiskan setiap hari melihat senja yang selalu aku puja jika kita hanya teman biasa? Apakah teman biasa akan merasa sangat nyaman dalam rangkulanmu dan rangkulanku? Kita memang berada dijalan yang salah. Aku mungkin terlihat jahat, sangat jahat malah. Aku tak melepasmu ataupun dirinya karena rasa egoisku. Aku yang sangat egois tak ingin melukai siapapun. Aku memang selalu berkata aku tak ingin menyakiti dirimu maupun dirinya. Aku memang yang tak pernah bisa tegas dengan hubungan kita ini. Tapi aku selalu engkau kuatkan dengan janjimu yang akan selalu menungguku. Menunggu diriku dan dirinya berpisah dengan baik-baik. Tapi siapapun tahu, sangat kecil kemungkinan bisa berpisah dengan seseorang secara baik-baik. Tapi kau tak pernah lelah menunggu. Tak pernah lelah menunggu hingga semuanya berubah.
            Hampir lima bulan setelah semuanya hanya bisa aku kenang. Kau pergi bersama janji itu dan aku masih mengutuk diri atas keegoisanku. Bisakah kata maaf mengembalikan dirimu? Bisakah sejuta bunga membawamu kembali padaku? Bisakah puluhan coklat membawa fantasi tentangmu menjadi nyata? Aku memang sangat terlambat dalam semua hal. Aku terlambat menyadari betapa penting dirimu bagiku. Terlambat membuat senyum itu hanya untukku. Terlambat memilikimu bahkan setelah aku dan dia berpisah. Mungkin benar hanya Tuhan yang mampu member kesempatan kedua. Mungkin benar kau bukan Tuhan yang bisa memberiku semua itu. Hampir lima bulan setelah kita tak pernah bersua kembali. Aku mulai belajar untuk merelakan engkau menemukan bahagia dengan yang lain. Aku memulai sebuah langkah berani untuk melangkah tanpa angan dan fantasi tentangmu lagi. Memulai hidupku yang sangat ceria. Hidupku yang pasti tak akan sama seperti ketika kau dan aku bersama. Aku berjalan perlahan, aku yang memulai langkah kecilku dengan bantuan sahabat-sahabat spesialku. Orang-orang yang tak pernah lepas dalam setiap ceritaku. Orang-orang yang tahu bagaimana aku terluka tanpamu. Orang-orang yang menjadi saksi air mata ini meluncur turun dari pelupuk mataku. Aku yang dikuatkan mereka mencoba mencari cerita baru. Aku mulai semuanya dengan menghapus semua foto kita. Iya, foto yang jumlahnya bahkan sangat banyak dalam waktu kita yang singkat. Aku tak ingin mengenang itu lagi, aku tak ingin terpuruk lama. Aku inginkan bahagiaku kembali.
            Minggu - minggu awal aku belajar merelakanmu merupakan minggu yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku berusaha tidak meneteskan air mata untukmu lagi. Aku sangat ingat janjiku yang berkata akan melakukan apapun untuk melihat senyum bahagiamu, meskipun aku harus pergi. Meskipun bukan aku alasan kau tersenyum. Aku selalu pegang janji itu, hanya karena aku tak bisa berbohong aku masih mencintaimu. Sebulan setelah aku mulai belajar merelakanmu, aku sudah bisa merasakan hidupku kembali. Mungkin tak sepenuhnya, karena aku masih saja pilu ketika kudengar namamu disebut. Tapi setidaknya aku sudah mulai bisa merasakan hidupku kembali dalam cahayanya. Aku mulai bisa tertawa bebas, meski terkadang aku masih perih ketika mengingatmu.

Comments