by : Dewi Cahyaningsih
Hampir
lima bulan setelah semuanya berakhir, tapi masih bisa aku dengarkan lagu yang
selalu engkau nyanyikan untukku. Dalam earphone yang menghubungkan suaraku dan
suaramu disetiap malam, kita bercerita tentang hari itu, kita bermimpi tentang
hari esok, dan kita selalu mengingatkan tentang hari kemarin. Selalu ada
nyanyian dan canda tawamu dalam setiap malamku. Sepenggal kenangan yang engkau
tinggalkan untukku, sungguh membuat aku tersiksa ketika merindukan semua itu.
Ketika kita masih menjadi kita meskipun dalam ikatan yang belum jelas kita
sebut apa. Apakah hanya seorang teman? Atau kita
sudah menjadi sepasang kekasih? Ahh , sungguh sangat kuat kenangan yang telah
kau patri dalam tiap detik waktu yg kuhabiskan bersamamu. Bertanya tentang apa
yang salah dalam diriku atau apa yang salah dalam diri kita membuatku hanya
bisa menitikkan air mata. Aku tak mampu menjawab bagaimana semuanya bisa
berawal dan berakhir dengan cepat.
Hampir lima bulan aku tak pernah tahu bagaimana hari-harimu.
Aku tak pernah tahu bagaimana kamu mengawali pagimu. Apakah kau sudah ingat
untuk sarapan? Sesuatu yang hampir sering engkau lewatkan dan berulang kali aku
ingatkan. Masihkah kau lakukan itu? Atau bagaimana kau menahan sakit gigimu
karena kau selalu makan coklat yang engkau puja bagaikan seorang dewa. Bisakah
aku tahu semua hal itu lagi? Pertemuan kita sangat klise, kau dan aku dalam
satu jejaring social, saling berkenalan, bertemu dan sadar bahwa kau ternyata
teman dari temanku. Kita kemudian mulai sering bertemu dan saling bertukar
pikiran. Klise bukan? Tapi semua itu berawal tanpa perasaan. Iyaa, kamu dan aku
mengawali semuanya dengan niat yang sama, Teman. Namun tak ada yang pernah tahu
bagaimana perasaan dimulai. Kita merasa nyaman satu sama lain, tapi kita tak
pernah menjadi kita yang satu. Kau adalah seorang lelaki dengan sejuta angan
tentang Australia. Sebuah negara maju yang sama-sama ingin kita kunjungi.
Sungguh sangat ingin aku tahu bagaimana kamu hari ini, esok ataupun kemarin.
Bisakah kita ulang lagi bagaimana rasanya menatap kembang api dipantai berpasir
putih yang sejuk itu? Atau bisakah kita ulangin menikmati malam berlalu dibawah
bintang-bintang? Bisakah kamu kembali?
Kini
tak ada lagi nyanyianmu disetiap malamku, tak ada lagi ceritamu tentang
bagaimana kau ingin sekali pergi ke Negara kangguru itu. Aku ingat betul
bagaimana kita pernah bermimpi membuka jendela yang sama dan menatap pagi yang
cerah disana bersama. Benar, aku sangat ingat bahwa itu hanya angan yang kita
pernah buat. Perjalanan singkat kisah kita membawa sejuta angan dan fantasi
buatku. Perjalanan singkat kisah kita membawa aku pada titik rindu yang teramat
sangat. Inginku mencarimu kesana dan berkata betapa sangat sulit memendam
sebuah bongkahan besar rindu. Setiap memori berbetuk foto yang aku pandangi
setiap malam hanya mampu mengingatkan kembali masa-masa itu. Masa ketika aku
dan kamu masih menjadi kita. Kita yang tak pernah tahu apa nama hubungan ini.
Kita yang tak peduli dengan status dan menjalani semuanya dengan kenyamanan
kita masing-masing.
Duabelas
Mei menjadi hari yang sangat spesial untukmu, ingatkah kamu tentang hal itu?
Pantai berpasir putih yang dibalut angin sejuk bertabur bintang dan kembang api
yang sangat indah. Membuat kejutan ulang tahun untukmu menjadi semakin spesial.
Kue coklat kesukaanmu dan beberapa lilin yang kita tiup bersama. Aku selalu
ingat hal itu, selalu ingat bagaimana senyummu menyempurnakan malam itu, malam
dimana kejutan sederhana yang aku buat untukmu berjalan indah. Hampir lima
bulan aku masih berharap ini mimpi dan ketika besok membuka mata aku bisa
melihat dirimu masih bersama dalam kisahku. Tapi itu hanya fantasi dan anganku,
kamu memang benar-benar tak bisa lagi aku sentuh, tak dapat lagi aku gapai, dan
tak mampu lagi kukembalikan. Masih kupegang erat janji yang pernah engkau
ucapkan, janji untuk selalu bersama. Janji untuk menungguku berpisah darinya.
Benar, aku masih milik yang lain ketika aku dan dirimu jatuh cinta. Bolehkah
aku bilang kau juga jatuh cinta? Ataukah aku hanya boleh bilang kau hanya
menganggapku teman? Tapi apakah teman akan sedekat ini? Apakah kau dan aku akan
menghabiskan setiap hari melihat senja yang selalu aku puja jika kita hanya
teman biasa? Apakah teman biasa akan merasa sangat nyaman dalam rangkulanmu dan
rangkulanku? Kita memang berada dijalan yang salah. Aku mungkin terlihat jahat,
sangat jahat malah. Aku tak melepasmu ataupun dirinya karena rasa egoisku. Aku
yang sangat egois tak ingin melukai siapapun. Aku memang selalu berkata aku tak
ingin menyakiti dirimu maupun dirinya. Aku memang yang tak pernah bisa tegas
dengan hubungan kita ini. Tapi aku selalu engkau kuatkan dengan janjimu yang
akan selalu menungguku. Menunggu diriku dan dirinya berpisah dengan baik-baik.
Tapi siapapun tahu, sangat kecil kemungkinan bisa berpisah dengan seseorang
secara baik-baik. Tapi kau tak pernah lelah menunggu. Tak pernah lelah menunggu
hingga semuanya berubah.
Hampir lima bulan setelah semuanya hanya bisa aku kenang. Kau pergi bersama janji itu dan aku masih mengutuk diri atas keegoisanku. Bisakah kata maaf mengembalikan dirimu? Bisakah sejuta bunga membawamu kembali padaku? Bisakah puluhan coklat membawa fantasi tentangmu menjadi nyata? Aku memang sangat terlambat dalam semua hal. Aku terlambat menyadari betapa penting dirimu bagiku. Terlambat membuat senyum itu hanya untukku. Terlambat memilikimu bahkan setelah aku dan dia berpisah. Mungkin benar hanya Tuhan yang mampu member kesempatan kedua. Mungkin benar kau bukan Tuhan yang bisa memberiku semua itu. Hampir lima bulan setelah kita tak pernah bersua kembali. Aku mulai belajar untuk merelakan engkau menemukan bahagia dengan yang lain. Aku memulai sebuah langkah berani untuk melangkah tanpa angan dan fantasi tentangmu lagi. Memulai hidupku yang sangat ceria. Hidupku yang pasti tak akan sama seperti ketika kau dan aku bersama. Aku berjalan perlahan, aku yang memulai langkah kecilku dengan bantuan sahabat-sahabat spesialku. Orang-orang yang tak pernah lepas dalam setiap ceritaku. Orang-orang yang tahu bagaimana aku terluka tanpamu. Orang-orang yang menjadi saksi air mata ini meluncur turun dari pelupuk mataku. Aku yang dikuatkan mereka mencoba mencari cerita baru. Aku mulai semuanya dengan menghapus semua foto kita. Iya, foto yang jumlahnya bahkan sangat banyak dalam waktu kita yang singkat. Aku tak ingin mengenang itu lagi, aku tak ingin terpuruk lama. Aku inginkan bahagiaku kembali.
Minggu - minggu awal aku belajar merelakanmu merupakan minggu yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku berusaha tidak meneteskan air mata untukmu lagi. Aku sangat ingat janjiku yang berkata akan melakukan apapun untuk melihat senyum bahagiamu, meskipun aku harus pergi. Meskipun bukan aku alasan kau tersenyum. Aku selalu pegang janji itu, hanya karena aku tak bisa berbohong aku masih mencintaimu. Sebulan setelah aku mulai belajar merelakanmu, aku sudah bisa merasakan hidupku kembali. Mungkin tak sepenuhnya, karena aku masih saja pilu ketika kudengar namamu disebut. Tapi setidaknya aku sudah mulai bisa merasakan hidupku kembali dalam cahayanya. Aku mulai bisa tertawa bebas, meski terkadang aku masih perih ketika mengingatmu.
Hampir lima bulan setelah semuanya hanya bisa aku kenang. Kau pergi bersama janji itu dan aku masih mengutuk diri atas keegoisanku. Bisakah kata maaf mengembalikan dirimu? Bisakah sejuta bunga membawamu kembali padaku? Bisakah puluhan coklat membawa fantasi tentangmu menjadi nyata? Aku memang sangat terlambat dalam semua hal. Aku terlambat menyadari betapa penting dirimu bagiku. Terlambat membuat senyum itu hanya untukku. Terlambat memilikimu bahkan setelah aku dan dia berpisah. Mungkin benar hanya Tuhan yang mampu member kesempatan kedua. Mungkin benar kau bukan Tuhan yang bisa memberiku semua itu. Hampir lima bulan setelah kita tak pernah bersua kembali. Aku mulai belajar untuk merelakan engkau menemukan bahagia dengan yang lain. Aku memulai sebuah langkah berani untuk melangkah tanpa angan dan fantasi tentangmu lagi. Memulai hidupku yang sangat ceria. Hidupku yang pasti tak akan sama seperti ketika kau dan aku bersama. Aku berjalan perlahan, aku yang memulai langkah kecilku dengan bantuan sahabat-sahabat spesialku. Orang-orang yang tak pernah lepas dalam setiap ceritaku. Orang-orang yang tahu bagaimana aku terluka tanpamu. Orang-orang yang menjadi saksi air mata ini meluncur turun dari pelupuk mataku. Aku yang dikuatkan mereka mencoba mencari cerita baru. Aku mulai semuanya dengan menghapus semua foto kita. Iya, foto yang jumlahnya bahkan sangat banyak dalam waktu kita yang singkat. Aku tak ingin mengenang itu lagi, aku tak ingin terpuruk lama. Aku inginkan bahagiaku kembali.
Minggu - minggu awal aku belajar merelakanmu merupakan minggu yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku berusaha tidak meneteskan air mata untukmu lagi. Aku sangat ingat janjiku yang berkata akan melakukan apapun untuk melihat senyum bahagiamu, meskipun aku harus pergi. Meskipun bukan aku alasan kau tersenyum. Aku selalu pegang janji itu, hanya karena aku tak bisa berbohong aku masih mencintaimu. Sebulan setelah aku mulai belajar merelakanmu, aku sudah bisa merasakan hidupku kembali. Mungkin tak sepenuhnya, karena aku masih saja pilu ketika kudengar namamu disebut. Tapi setidaknya aku sudah mulai bisa merasakan hidupku kembali dalam cahayanya. Aku mulai bisa tertawa bebas, meski terkadang aku masih perih ketika mengingatmu.
Comments
Post a Comment